Kementerian ATR/BPN Perhatikan Implementasi Reforma Agraria pada Masyarakat Adat di Wilayah Otonomi Khusus

Jakarta , PUBLIKASI – Reforma Agraria berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Pelaksanaan Reforma Agraria di setiap daerah memiliki pendekatan tersendiri, terutama untuk wilayah otonomi khusus yang terdapat masyarakat hukum adat seperti Provinsi Aceh dan Tanah Papua.

Hal ini disampaikan oleh Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/Waka BPN), Surya Tjandra dalam webinar #RoadtoWakatobi ke-25 “Pembelajaran Implementasi Reforma Agraria pada Masyarakat Adat di Wilayah Otonomi Khusus (Provinsi Aceh dan Tanah Papua)” yang diselenggarakan World Resources Institute (WRI) Indonesia secara daring, Jumat (03/06/2022).

“Implementasi Reforma Agraria pada masyarakat adat, khususnya di wilayah otonomi khusus, memang harus dilaksanakan secara hati-hati. Mulai dengan memahami secara sungguh-sungguh, kontekstual adat dari segi wilayah, masyarakat, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan seterusnya,” ujar Surya Tjandra.

Menurutnya, perkembangan strategi Reforma Agraria untuk masyarakat adat di wilayah otonomi khusus bisa jadi lebih kompleks dari yang diperkirakan.

“Masyarakat adat memiliki sifat penguasaan wilayah yang unik dan sangat berbeda dengan Reforma Agraria umumnya seperti yang kita lihat di Jawa,” tuturnya.

“Dengan adanya Reforma Agraria, sebetulnya pemerintah ingin agar masyarakat adat mendapat kepastian tenurial, kurang lebih artinya adalah hak hukum untuk terus hidup di/atau menggunakan bangunan tanah dan sebagainya, yang dalam konteks ini adalah kesepakatan antara individu atau kolektif masyarakat dengan otoritas negara,” lanjut Wamen ATR/Waka BPN.

Reforma Agraria di wilayah otonomi khusus bisa memiliki kontribusi, yakni dengan membangun skema kerja secara kolaboratif lintas sektor. Hal ini mengingat kompleksitas situasi yang ada, yang juga menjadi dasar keberadaan atau diberlakukannya otonomi khusus itu sendiri.

Surya Tjandra menambahkan, Reforma Agraria kontekstual wilayah otonomi khusus juga harus mampu mendorong terbitnya peraturan daerah (Perda) tentang pengakuan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat, mendorong dan merancang intervensi pemerintah, baik di pusat maupun daerah baik dari segi regulasi maupun program-program pemerintah terkait dengan pemetaan sosial dan spasial wilayah adat, serta pemberdayaan masyarakat adat itu sendiri.

“Reforma Agraria kontekstual otonomi khusus sebaiknya juga mampu memberikan warna dan paradigma pendaftaran pertanahan yang menjadi unik di Papua dan/atau Aceh. Bagaimana kita merespons keunikan, kekhususan hal seperti ini, ini bisa menjadi salah satu langkah untuk juga percepatan pendaftaran tanah lengkap khususnya di Papua dan Aceh,” paparnya.

Ke depannya, pemerintah ingin seluruh bidang tanah terdaftar. Wamen ATR/Waka BPN mengatakan, hal ini dapat menjadi modal awal untuk pembangunan dan perencanaan yang lebih baik dengan partisipasi publik yang lebih efektif dan lebih nyata. Ia berharap, berbagai sektor dalam pemerintahan dapat berkolaborasi demi kesejahteraan masyarakat adat, baik di wilayah otonomi khusus maupun di seluruh Indonesia.

Adapun dalam webinar ini turut hadir sebagai narasumber, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Papua, John Wiclif Aufa; Direktur WRI Indonesia, Nirarta Samadhi; dan Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi Kartodihardjo. Hadir sebagai penanggap, beberapa Civil Society Organization (CSO) atau organisasi masyarakat dan pemangku kepentingan terkait. (*/Red)

Leave a Comment!