Kemiskinan Tidak Datang Dari Kurangnya Kekayaan, Tapi Dari Keinginan Yang Tak Terbatas

Jakarta, PUBKIKASI– Setiap pagi, seorang lelaki membuka warung kecil di sudut jalan. Warung itu sederhana. Hanya berisi beberapa kursi kayu, termos air panas, dan toples-toples serta piring-piring berisi gorengan. Tapi dari situlah ia menyambung hidup. Ia menyapa setiap pelanggan dengan senyum, menyeduh kopi dengan sabar, dan menata ulang toples yang kosong tanpa mengeluh. Ia tak pernah terlihat terburu-buru, seolah waktunya tidak sedang dikejar. Baginya, rezeki datang dari keikhlasan, bukan dari seberapa cepat ia bisa mendapatkannya.

Di sisi lain kota, kehidupan tampak jauh lebih mewah. Rumah-rumah besar dengan pagar besi tinggi berdiri megah. Mobil-mobil mahal hilir mudik keluar masuk. Tapi di balik kemewahan itu, ada wajah-wajah yang selalu tampak sibuk, bahkan cemas. Gaji besar tak cukup menenangkan hati. Uang datang lebih banyak, tapi begitu juga dengan keinginan. Selalu ada barang baru yang harus dimiliki, tren baru yang harus diikuti, standar hidup baru yang harus dikejar. Mereka bekerja keras, bukan karena ingin hidup, tapi karena takut terlihat tertinggal.

Dua dunia ini kita hidup saling berdampingan, tapi terasa seperti dua semesta berbeda. Yang satu hidup sederhana tapi merasa cukup. Yang lain bergelimang fasilitas, tapi hatinya terus gelisah. Perbedaan utamanya bukan terletak pada jumlah kekayaan, melainkan pada seberapa jauh batas keinginan itu ditarik. Seseorang bisa memiliki sedikit tapi merasa tenang, sementara yang lain memiliki banyak tapi tak pernah merasa puas.

Ibnu Khaldun pernah berkata, “Kemiskinan tidak datang dari kurangnya kekayaan, tapi dari keinginan yang tak terbatas.” Dan kalimat ini terasa begitu nyata di kehidupan kita hari ini. Kita hidup di zaman di mana segala hal tampak bisa dimiliki, asal punya uang. Tapi justru karena itulah, batas antara kebutuhan dan keinginan jadi semakin kabur. Dulu, kita beli barang karena memang butuh. Sekarang, kita membeli agar terlihat cukup. Kita sering lupa bahwa rasa cukup itu bukan didapat dari banyaknya yang kita punya, tapi dari seberapa sanggup kita menahan diri untuk tidak ingin lebih.

Setiap hari, kita disuguhi tayangan hidup orang lain. Melalui layar ponsel, kita melihat betapa sempurnanya hidup orang lain, rumahnya rapi, bajunya mahal, liburannya jauh. Perlahan-lahan, kita mulai merasa bahwa hidup kita kurang. Bukan karena kita tidak punya, tapi karena orang lain terlihat punya lebih. Keinginan tumbuh bukan dari dalam, tapi dari dorongan untuk terlihat tidak kalah. Di situlah kemiskinan muncul. Bukan di isi dompet, tapi di isi hati.

Dan yang harus kita sadari, siapa saja bisa menjadi miskin, bukan hanya mereka yang hidup pas-pasan. Orang dari kalangan menengah pun bisa merasa miskin kalau ia terus menatap ke atas dan lupa bersyukur. Bahkan seorang elite, pejabat tinggi, atau tokoh kaya bisa saja jatuh ke dalam kemiskinan hati, saat ia merasa semua yang dimilikinya belum cukup, dan mulai menghalalkan segala cara demi lebih banyak. Ketika seseorang rela menggadaikan nilai-nilainya demi mempertahankan citra atau menambah harta, saat itulah kemiskinan sejati menunjukkan wajahnya. Karena kemiskinan yang paling dalam bukanlah soal tidak punya, tapi soal tidak pernah puas.

Rasa ingin yang tak pernah selesai membuat seseorang selalu merasa tertinggal. Ia mengejar terus, mengumpulkan terus, tapi tak pernah benar-benar merasa cukup. Bahkan saat ia sudah punya banyak, ada lubang di dalam dirinya yang terus menganga. Ia kira dengan membeli ini dan itu, lubang itu akan tertutup. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: lubang itu makin melebar. Karena bukan jumlah harta yang sedang ia kejar, tapi rasa aman yang tidak datang-datang.

Padahal hidup tidak menuntut kita untuk memiliki segalanya. Hidup hanya meminta kita untuk tahu batas, tahu kapan berhenti, tahu kapan menyederhanakan. Kebahagiaan seringkali hadir bukan saat kita menambah, tapi saat kita mengurangi. Mengurangi keinginan, mengurangi iri, mengurangi pembandingan. Saat kita bisa bilang, “Aku cukup,” maka disitulah rasa damai muncul. Mungkin itu sebabnya ada orang yang rumahnya kecil, bajunya biasa saja, tapi ia bisa tidur nyenyak setiap malam. Sementara yang lain, meski kasurnya empuk dan AC-nya dingin, tidurnya gelisah.

Bukannya meremehkan pentingnya kekayaan. Sekedar mengingatkan, bahwa kekayaan tidak akan pernah bisa menyelamatkan kita dari rasa miskin, jika hati kita terus dibanjiri oleh keinginan yang tak selesai. Dunia ini memang luas, barang-barang indah akan terus diproduksi, tren akan terus berganti. Tapi kalau kita tidak pernah belajar berkata cukup, maka kita akan terus merasa miskin, meski isi rekening bertambah setiap bulan.

Bukan tentang siapa yang punya paling banyak lah yang menang. Tapi siapa yang paling damai, yang paling tenang, yang paling tahu kapan cukup. Dan mungkin, dalam dunia yang terus memacu kita untuk lebih, berani merasa cukup adalah bentuk kekayaan yang paling langka.

#ceritainspirasi

Disclaimer:

Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik.

_Disadur dari : Pecah Telur_

*Sonny H. Sayangbati*

Leave a Comment!