Jakarta, PUBLIKASI – Jurnalis yang meliput demo tolak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di sejumlah daerah mengalami tindak kekerasan. Kekerasan yang menimpa para jurnalis tersebut menambah catatan buruk dan dinilai menjadi ancaman nyata bagi iklim kebebasan pers di Tanah Air.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menerima laporan daftar jurnalis yang mengalami kekerasaan saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di Ibu Kota dan daerah lainnya.
“Hingga hari ini, data yang dikumpulkan IJTI sebanyak 18 jurnalis mengalami tindak kekerasan dalam peliputan aksi unjuk rasa penolakan omnibus law UU Cipta Kerja,” kata Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriana, dalam keterangan tertulis, Minggu (11/10).
Dalam laporan yang diterima IJTI, berikut kronologi kekerasan yang dialami sejumlah jurnalis saat meliput demo UU Cipta Kerja.
Di Tarakan, Kalimantan Timur, dua jurnalis menjadi korban kekerasan saat meliput unjuk rasa di depan kantor DPRD Tarakan, pada Rabu (7/10). Kedua jurnalis tersebut adalah Arif Rusman (reporter TVRI Kaltim) dan Ifransyah (fotografer Radar Tarakan).
Kedua jurnalis ini terkena tembakan water canon aparat saat mengambil gambar. Selain mengalami luka-luka, satu perangkat liputan berupa kamera juga rusak.
Di Lampung, setidaknya empat jurnalis mengalami kekerasan. Keempat jurnalis yang mengalami kekerasan dan intimidasi yakni Angga (jurnalis Metro TV), Hari Ajahar (jurnalis Radar Lampung Radio), Syahrudin (jurnalis lampungsegalow.co.id) dan Heridho (jurnalis Lampungone.com). Para jurnalis ini mendapat intimidasi dan kekerasan dari sejumlah aparat polisi berpakai preman. Intimidasi berupa bentakan dan memaksa agar menghapus rekaman video.
Di Palu, Sulawesi Tengah, kekerasan dialami tiga jurnalis, yaitu Alsih Marselina (wartawati SultengNews.com), Aldy Rifaldy (wartawan SultengNews.co), dan Fikri (wartawan Nexteen Media). Mereka menjadi korban kekerasan saat meliput demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja di Palu, Kamis (8/10).
Saat itu ketiga jurnalis tengah meliput demonstrasi ribuan mahasiswa di Jalan Samratulangi, hingga kericuhan antara polisi dan mahasiswa terjadi. Alsih, Aldy Rifaldy berusaha menyelamatkan diri di barikade kepolisian. Namun, mereka malah dintimidasi dan dipukuli, meski sudah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis. Sedangkan Fikri kameranya rusak di bagian viewfinder dan bodi kamera karena dibanting polisi berpakaian preman.
Di Kota Medan, Sumatera Utara, seorang jurnalis dari media online juga menjadi korban kekerasan dan intimidasi anggota polisi. Kejadian ini menimpa Raden Armand, reporter Indozone.id. Saat itu ia mengabadikan momen bentrokan antara pendemo dan aparat polisi. Tiba-tiba yang bersangkutan dipaksa dan dintimidasi agar menghapus foto-foto yang diambil.
Sementara itu di Ibu Kota, sedikitnya ada delapan jurnalis yang menjadi korban kekerasan serta intimidasi saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja beberapa hari lalu. Ke delapan jurnalis itu adalah jurnalis CNNIndonesia.com Tohirin, kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan polisi. Peter Rotti, wartawan Suara.com ponselnya dirampas aparat berpakai preman karena menolak saat diminta menghapus video dan foto unjuk rasa yang diambil. Selain itu, sejumlah jurnalis lainnya yang mengalami kekerasan dan intimidasi serta sempat ditahan di Polda Metro Jaya, yaitu Ponco Sulaksono (jurnalis Merahputih.com) Aldi (jurnalis Radar Depok), Kiagus (jurnalis RTMC Polda Metro), Qolbee freelance, Willy dan Ismu (jurnalis Berdikari).
Yadi menegaskan, atas kekerasan dan intimidasi yang menimpa para jurnalis di berbagai daerah saat meliput unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja, IJTI mengeluarkan 7 pernyataan sikap, sebagai berikut ini:
Mengutuk dan mengecam aksi kekerasan yang dilakukan oknum aparat kepada para jurnalis di berbagai daerah.
Mendesak Kapolri agar menyelidiki dan memeriksa anggotanya yang diduga terlibat dalam aksi kekerasan kepada para jurnalis
Mendorong Dewan Pers dan Polri melakukan evaluasi pelaksanaan dan sosialisasi MoU kedua lembaga karena faktanya di tataran paling bawah masih banyak anggota polisi yang tidak paham tugas-tugas jurnalis yang dilindungi oleh UU
Menegaskan bahwa melakukan intimidasi, kekerasan atau menghalang-halangi kerja jurnalistik adalah tindakan pidana sebagaimana tertuang dalam UU Pers No 40 tahun 1999
Meminta kepada aparat kepolisian agar ikut serta melindungi jurnalis yang tengah menjalankan tugasnya
Mengimbau kepada semua pihak agar menghormati tugas-tugas para jurnalis
7. Meminta kepada para jurnalis untuk menjalankan tugasnya secara profesional, berpegang teguh pada kode etik dan perundang-undangan yang berlaku serta mengutamakan keselamatan diri. **