Jakarta, PUBLIKASI – Ketua Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia (Posbakumadin) Balikpapan Advokat Ita Ma’ruf, S.H., M.H., M.Ad., menilai lima tahun belakangan sejak Indonesia meraih kemerdekaan, merupakan masa kemerosotan hukum yang sangat buruk bagi pendidikan hukum masyarakat luas. Selama lima tahun belakangan, lanjut Ita Ma’ruf, telah terjadi pelanggaran dan penyimpangan konstitusi.
“Sejak Indonesia memperoleh kemerdekaan pada 79 tahun silam, lima tahun terakhir ini merupakan pendidikan hukum yang paling terburuk. Indonesia yang sejatinya adalah negara hukum telah berubah menjadi negara kekuasaan seperti halnya Runtuhnya Benteng Konstitusi Republik Indonesia dengan sejumlah Putusan Mahkamah Konstitusi R.I,” kata Ita Ma’ruf, seperti disampaikan Zul Rambe, S.H., M.H., Praktisi Hukum, kepada koranpublikasi.com, di Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Pernyataan tersebut, kata Zul Rambe, disampaikan Ita Ma’ruf saat acara Kongres Ke-10 Perkumpulan Advokat Indonesia (PERADIN) di Balikpapan, 29 Agustus 2024 lalu.
Runtuhnya Benteng Konstitusi Republik Indonesia, diantaranya ditandai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi R.I No.90/PUU-XXI/2023 dan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi No.5/MKMK/ L/11/2023 serta Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu No.135-PKE-DKPP/XII/2023, serta Putusan Mahkamah Agung No. 23/P/HUM/2024.
Menurut Ita Ma’ruf, putusan tersebut memperlihatkan kepada publik bahwa yang menang “bukan kekuasaan hukum yang adil dan beradab bagi rakyat”. Akan tetapi, justru “hukum kekuasaanlah” yang memenangkan kepentingan rezim penguasa yang merepresikan kedaulatan rakyat. Sehingga julukan MK berubah menjadi “Mahkamah Kekuasaan”.
“Keadaan yang demikian itu menjadi perhatian dan derap juang PERADIN untuk diperbaiki. Kedepan MK harus kembali menjadi Mahkamah Konstitusi yang bermartabat dan berintegritas dengan berpegang teguh pada adagium: Quid est leges sine moribus. Maknanya, hukum tidak berarti apa-apa tanpa moralitas. Dengan kata lain, tanpa etika dan moral hukum akan menjadi kriminal,” pesannya.
Mengkhianati Nasionalisme
Derap perjuangan PERADIN itu, kata dia dilandasi nasionalisme yang digelorakan oleh para pahlawan pejuang dan para Bapak Bangsa Indonesia di awal Abad ke-20, yakni sebuah filsafat perjuangan yang kritis, radikal, revolusioner serta aktif dinamis.
Nasionalisme itu juga berlandaskan pada nilai-nilai semangat moral dan etik yang tinggi akan Hak Asasi Nation State Indonesia yang merdeka dan berdaulat, bebas dari penjajahan bangsa manapun di muka bumi ini.
Landasan etik dan moral filsafat perjuangan kemerdekaan itu kemudian terkristalisasi dengan sebutan “Panca Etika dan Panca Moral Berbangsa dan Bernegara yaitu Pancasila.
“Dengan kondisional seperti itu, PERADIN menentukan sikap dan bertindak dengan semangat juang sebagaimana yang dimaksudkan “Ikrar PERADIN dan tema Penyelenggaraan Kongres-l Ke-10 PERADIN, yakni Membangun Moral Bangsa yang Beradab dengan Revolusi Akhlak Menuju Supremasi Hukum” karena budaya hukum telah sirna di Bumi Nusantara.
“Untuk membangun dan memulihkan kembali, bisa dilakukan dengan cara melaksanakan Pendidikan Budaya Hukum agar dijadikan kurikulum pada Sekolah Menengah dan di Perguruan Tinggi, sehingga rasa malu” dalam masyarakat, berbangsa, bernegara berlangsung langgeng seperti sedia kala awal diraih kemerdekaan Republik Indonesia”, pungkasnya.
Sudin Hasibuan