Transparansi Ruang Kontrol Masyarakat Dalam Pelayanan Publik

“Kemajuan zaman yang ditandai dengan berbagai kemajuan di segala bidang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang semakin cepat. Berbagai perubahan peradaban ini, salah satunya berpengaruh pada tuntutan masyarakat untuk mendapatkan hak – hak pelayanan publik yang baik dari aparatur pemerintah yang memang menjadi tanggung jawabnya. Hak aparatur untuk mendapatkan gaji dan tunjangan kinerja yang lebih baik, sekaligus berimplikasi pada kewajibannya untuk memberikan kewajiban pelayanan pada masyarakat secara lebih baik lagi. Namun ternyata harapan masyarakat ini nampaknya belum bisa direalisasikan, karena banyak faktor “, ujar Pemerhati Pelayanan Publik Dede Farhan Aulawi yang disampaikan di Bandung, Jum’at (25/9).

Hal tersebut ia sampaikan ketika dimintai pandangannya terhadap kualitas pelayanan publik saat ini. Ia yang juga sering melakukan pengkajian dan penelitian kualitas pelayanan publik, memandang bahwa banyak faktor yang mempengaruhinya, mulai masalah kualitas SDM maupun sarana dan prasarananya. Dalam konteks ini, dirinya tidak ingin berbicara masalah kuantitas pegawai yang selama ini sering dijadikan “alasan”. Tapi ia lebih menyoroti masalah kualitas SDM-nya, yaitu masalah pemenuhan kompetensi dan integritasnya.

Masalah pemenuhan kompetensi akan terkait dengan kecukupan pengetahuan, keterampilan dan attitude yang dimilikinya. Sementara integritas terkait dengan mentalitas dan kejujuran yang melekat dalam dirinya. Pengetahuan bisa ditambah dengan pendidikan atau pelatihan, keterampilan bisa diasah dengan pembiasaan dan jam terbang. Sementara attitude, moralitas dan integritas butuh kesadaran luhur untuk melakukannya.

Desa/ Kelurahan dan Kecamatan merupakan garda terdepan dalam pelayanan pemerintahan, termasuk dinas – dinas yang ada di wilayahnya. Mereka ada ditugaskan oleh negara untuk melayani masyarakatnya, namun fakta di lapangan belum seperti apa yang diharapkan. Sistem pelayanan yang bersifat monopolistik bisa jadi merupakan salah satu penyebabnya. Misalnya seseorang yang tinggal di kecamatan A, maka ia hanya bisa membuat KTP di kecamatan tersebut, dan sudah barang tentu ia tidak bisa membuat di kecamatan lain apalagi di tempat yang lain. Sifat layanan monopolistik ini pada akhirnya sering dipandang sebagai masyarakat yang “butuh”, bukan “kewajiban” aparatur yang memang wajib memberikan pelayan terbaik dan tercepatnya.

Di saat yang bersamaan, masyarakat yang semakin maju akan menuntut pelayanan yang baik dan cepat. Tidak terkesan sengaja dibikin lama untuk membuat ruang dan celah negosiasi yang tentu akan ada “harganya”. Pemerintah Pusat dan DPR sebenarnya sudah memiliki komitmen yang tinggi, hal ini terbukti dengan keluarnya UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Bahkan ada UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI yang memiliki tugas untuk mengawasi pelayanan publik yang dilakukan oleh seluruh penyelenggara negara. Namun demikian gaung dan semangat pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan yang baik ini nampaknya belum sampai ke bawah. Apalagi jika kita bicara dengan standar pelayanan publik, baik yang berkaitan dengan kualitas maupun kecepatan pelayanan itu sendiri. Transparansi sebagai ruang kontrol masyarakat menjadi sangat penting, agar aparatur tidak sekedar tahu tetapi juga menyadari kewajiban – kewajibannya pada publik.

“ Di sisi lain sebenarnya tidak semua pelayanan itu buruk, faktanya ada juga yang pelayanannya sudah baik. Dimana mereka juga sudah menerapkan sistem aplikasi yang transparan dan cepat. Sistem pelayanan seperti inilah yang sesungguhnya sangat didambakan oleh masyarakat. Oleh karena itu partisipasi pengawasan dan kritik masyarakat dalam pelayanan publik seyoyanya bisa diterima dengan tangan terbuka sebagai sebuah masukan/ feedback sehingga tahu apa yang harus diperbaiki. Sebab faktanya masih ada juga “oknum” yang alergi dengan pengawasan dan kritikan masyarakat, sehingga pendewasaan cara pandang yang objektif secara kolektif masih sangat diperlukan “, pungkas Dede.

Leave a Comment!