Oleh : Muhammad Zein Fareyah
Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang
Setelah Myanmar merdeka, pada masa pemerintahan pertama Jenderal Aung San, Rohingya menjadi salah satu etnis yang berperan dalam pemerintahan Myanmar. Antara 1940 sampai dengan 1950, beberapa orang Rohingya memegang beberapa jabatan di kabinet Myanmar. Ketika Jenderal Ne Win melakukan kudeta pada 1962 dan Ne Win menjadi presiden, sistem politik Myanmar berubah dan menjadi lebih otoriter.
Peralihan kepemimpinan itu, menyebabkan banyak etnis minoritas yang sering menjadi korban karena dianggap tidak setia dan ingin memisahkan diri dari Myanmar, termasuk Rohingya.
Etnis Rohingya dipandang sebagai ancaman bagi rezim Ne Win, sehingga pada tahun 1978 dilancarkan operasi untuk menumpas gerakan separatis dan menguasai Rohingya.
Upaya paksa untuk mempengaruhi gaya hidup Muslim Rohingya menjadi Buddhis, serta provokasi oleh partai politik tertentu, telah mengubah Rohingya menjadi kelompok etnis yang terpinggirkan dari dunia luar.
Akibat situasi diskriminasi besar-besaran oleh Pemerintah Militer Myanmar itu, menyebabkan migrasi Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh. Situasi sulit ini dihadapi Rohingya selama masa pemerintahan militer di era Ne Win hingga tahun 2000-an.
Pada awalnya eskalasi konflik di Rohingya seolah tidak terlihat oleh dunia, sebelum kemudian muncul di media. Sejak Juni hingga Agustus 2012, sejumlah media internasional dalam laporannya mengungkapkan fakta tentang konflik Rohingya. Adanya kejadian ini telah membangkitkan kemarahan suku Rakhine dan menyebabkan siklus konflik yang tidak berkesudahan.
Konflik memuncak pada Juli 2012 dengan kebakaran besar-besaran di rumah-rumah yang dihuni Rohingya dan serangan oleh kedua kelompok etnis. Bahkan ada tuduhan bahwa militer dan polisi Myanmar telah memprovokasi dua kelompok etnis untuk menyerang desa-desa Rohingya.
Melihat situasi saat itu, dunia internasional terkejut karena Myanmar juga sedang dalam proses demokratisasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa mengutuk kekerasan dalam konflik Rohingya itu, tetapi tidak menuduh pemerintah Myanmar memprovokasi konflik.
Lembaga lain, seperti Amnesty International dan Organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) Dunia, percaya bahwa pemerintah Myanmar secara sistematis melakukan diskriminasi terhadap kelompok etnis Rohingya, artinya penderitaan kelompok etnis Rohingya tidak akan pernah berakhir.
Adapun Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai organisasi regional di Asia Tenggara, menyikapi kasus konflik Rohingya dengan hati-hati.
ASEAN telah memainkan peran penting dalam mewujudkan demokratisasi negara-negara anggotanya. Hal ini setidaknya terlihat dalam penanganan kasus di Myanmar. Prinsip non-intervensi yang tercantum dalam Piagam ASEAN pada 1967, memberikan legitimasi kepada para anggota ASEAN untuk tidak ikut campur dalam urusan internal masing-masing negara.
Prinsip non-intervensi yang diterapkan oleh ASEAN ini juga menjadikan Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan dengan tingkat stabilitas dan perdamaian terbaik jika dibandingkan dengan kawasan negara berkembang lainnya.
Prinsip non-intervensi ASEAN ini lebih menekankan pada pendekatan diplomatik dan kekeluargaan, yaitu dengan ASEAN way. Pendekatan ASEAN way berfokus pada proses meyakinkan pemerintah Myanmar bahwa ASEAN akan terus mendukung langkah-langkah strategis yang diperlukan untuk mengurangi kekerasan di Myanmar.
Manajemen konflik mencakup data ASEAN sebagai organisasi regional. Secara khusus, konflik komunal dan sektarian di negara bagian Rakhine Barat Myanmar telah menjadi fokus para pemimpin Asia Tenggara.
Bahkan banyak pemimpin ASEAN mengatakan mereka akan terus menekan Myanmar untuk menyelesaikan dan mengakhiri kerusuhan di kalangan minoritas Muslim Rohingya dan etnis Buddha Rakhine. Sebagai anggota ASEAN, Indonesia menekankan pentingnya dukungan yang komprehensif terhadap penyelesaian sengketa Rohingya melalui diplomasi internasional oleh seluruh anggota.