Tantangan Hidup Bersama Covid-19

Jakarta, PUBLIKASI – Dunia tampak bersiap untuk hidup berdampingan dengan Covid-19. Pelaksanaan Euro 2020 menunjukkan pada kita bahwa masa depan dunia adalah hidup berdampingan dengan Covid-19. Kita melihat bagaimana banyak penonton Euro 2020 yang tidak menggunakan masker.

Kebijakan itu diambil setelah vaksinasi secara gencar dilakukan di negara-negara yang menyelenggarakan Euro 2020. Hal yang sama dilakukan Singapura.

Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, mengatakan bahwa pada masa mendatang, Covid-19 akan dianggap layaknya flu biasa. Apabila menjadi kenyataan, pemerintah perlu sedari dini menyiapkan diri memberi edukasi kepada masyarakat, agar masyarakat siap.

Apa saja tantangan dan strategi yang perlu disiapkan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Populi Center menggelar diskusi Forum Populi dengan
tajuk ‘Mengkomunikasikan Tantangan Hidup Bersama Covid-19’ via Zoom pada Kamis (29/7/2021).

Hadir tiga narasumber dalam diskusi kali ini yakni, Ibnu Hamad (Guru Besar, Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia), Dono Widiatmoko (Epidemiolog University of Derby, UK), dan Afrimadona (Direktur Eksekutif, Populi Center). Diskusi dipandu oleh Hartanto Rosojati (Peneliti, Populi Center).

Data Antibodi

Dono Widiatmoko yang juga merupakan pengajar di University of Derby mengatakan bahwa, di Inggris penanganan pandemi telah dibebankan pada masing-masing individu.

Meskipun, angka penularan di sejumlah negara tersebut masih tinggi, tetapi jumlah warga yang dirawat di rumah sakit sangatlah rendah.

“Kondisi ini menunjukkan bahwa, antibodi masyarakat sudah mulai terbentuk dengan mayoritas penduduk sudah mendapatkan vaksin sebanyak dua dosis,” ungkapnya.

Sekolah di Inggris pun sudah mulai melakukan pembelajaran tatap muka. Warga di bawah usia 17 tahun yang dinilai tidak rentan terkena Covid-19 juga tidak diwajibkan untuk di vaksin.

Selain itu kata Dono, saat ini pemerintah perlu mengukur estimasi penduduk yang sudah terbentuk antibodi terhadap Sars-Cov 2 di dalam tubuhnya. Sebagai pembanding di Inggris sudah ada 92 persen masyarakat terlindungi antibodi.

“Ini untuk memetakan seberapa besar infeksi sudah terjadi dan antibodi sudah mulai terbentuk, sehingga dampak Covid-19 tidak semakin fatal,” ia menyarankan.

Kebijakan pemerintah memutuskan untuk hidup berdampingan, lanjutnya, harus berdasar pada data antibodi. Kalau antibodi belum tinggi, kebijakan relaksasi sama saja dengan melakukan ‘bunuh diri’.

“Kita tidak bisa meninggalkan semua protokol sebelum vaksinasi sukses,” ujarnya.

Dominasi Pemerintah

Sementara Ibnu Hamad, pakar komunikasi publik dari Universitas Indonesia menyampaikan bahwa, di Indonesia peran pemerintah masih dominan. Sebaliknya, kepercayaan kepada individu belum ‘berani’ diberikan.

“Di era otonomi daerah ini, gubernur atau walikota jarang sekali berani menyatakan, bertanggung jawab atas apa yang terjadi di daerahnya, ujung-ujungnya masih mengikuti keputusan pemerintah pusat” ujarnya.

Sejauh ini kata Ibnu Hamad, belum diketahui kapan krisis Covid-19 akan berakhir, sehingga komunikator dalam penanganan krisis harus yang memiliki otoritas.

“Saat berkomunikasi dengan publik, metode yang perlu ditekankan adalah komunikasi krisis, menyampaikan langkah penanganan apa yang sudah dilakukan pemerintah, bukan mengkomunikasikan musibahnya saja, jumlah yang terpapar berapa” ungkapnya.

Harapannya komunikasi tersebut dapat menciptakan ketenangan di masyarakat.

Komunikasi Publik

Afrimadona yang juga pengajar di UPN Jakarta, menekankan bahwa dari awal pandemi, pemerintah memang mengalami persoalan dalam komunikasi publiknya. Namun, ketidakterimaan masyarakat kepada pemerintah kebanyakan lebih kepada faktor politik.

“Kepercayaan kepada pemerintah itu dapat diprediksi dari afiliasi politik mereka. Banyak studi membuktikan kecenderungan itu, tetapi lama kelamaan, orang mulai sadar bahwa Covid-19 ini benar-benar ada,” terangnya.

Afrimadona menambahkan, bahwa terkait persoalan literasi medis masyarakat penting untuk diperhatikan, sedangkan kebijakan hidup berdampingan dengan Covid-19 di negara lain dilakukan setelah vaksinasi sudah dilakukan secara masif.

Menutup diskusi kali ini, Afrimadona, memberikan penekanan pada, pengendalian arus informasi. Dalam kondisi krisis, otoritas sentral sangat dibutuhkan, terlebih dengan kondisi literasi medis yang masih rendah.

Menurutnya perlu pemerintah untuk memegang otoritas tinggi dalam penanganan krisis ini. Di sisi lain, krisis selalu menjadi tantangan bagi negara dengan corak demokrasi seperti Indonesia. AKS

Leave a Comment!